Thursday, November 3, 2011

Dinamika Perkawinan 0-2 Tahun

Julianto Simanjuntak***

Kasus

John, seorang pria yang telah menikah dua tahun mengalami depresi yang berat. Ia merasa istrinya tidak lagi menghargai dirinya sebagai suami. Istrinya tidak tunduk pada keinginannya dalam segala hal.

Beberapa keluhan sang suami antara lain: Istrinya tidak bisa menabung, tidak taat sembahyang, terlalu memberi perhatian pada keluarga sendiri, tidak pandai merawat anak. Istrinya mau menguasai, tidak melayani kebutuhan fisik suami, memaksa suami mengurus anak. Suami dicurigai main serong dengan pembantu, dan sebagainya.

Sementara itu Mary istrinya, juga depresi sebab suaminya jarang di rumah. Suami sering mempersalahkan dia. Situasi rumah tangga seperti itu akhir-nya membuat istrinya tidak tahan, lalu mengusir suaminya secara halus. Pria itupun tidak tahan lalu pergi me-ninggalkan istri dan merasa tidak akan kembali lagi.

Situasi Keluarga

Kondisi tempat tinggal dan pekerjaan: Keluarga ini tinggal di pinggiran atau agak jauh dari pusat kota Jakarta. Suami merasa penghasilannya cukup baik, sebab ia berharap dapat ditabung oleh istri. Suami bekerja jauh dari rumah, sehingga 2 dari 3 minggu (dua pertiga) waktunya berada di luar rumah. Dengan kata lain suami sangat jarang berada di rumah.

Kondisi keluarga besar: istri sangat dekat dengan keluarganya sendiri. Ia memberi bantuan secara rutin Rp.200.000 setiap bulan pada keluarganya. Keluarga ini dibantu oleh dua orang pembantu rumah tangga.

Kondisi keluarga inti: memiliki seorang anak yang masih bayi, dan istri sedang dalam keadaan me-ngandung anak kedua. Mereka menikah hampir 2 tahun.

Analisa

Ada dua akar permasalahan mendasar yang me-nimbulkan masalah keluarga ini. Pertama, miskinnya komunikasi antara suami dan istri. Hal ini disebabkan waktu suami di luar rumah terlalu banyak. Kedua, adanya fragile dreams dan fragile ego dalam diri pria.

Komunikasi yang miskin

Dari kasus di atas, dua pertiga waktu dari suami dihabiskan di luar rumah. Itu berarti dalam setahun suami meninggalkan keluarganya selama 8 bulan. Sisanya yang empat bulan mungkin masih dipakai untuk memikirkan hal yang menyangkut pekerjaan dan kesenangannya. Jadi waktu untuk istri dan anak sedikit sekali.

Judith Balswick mengatakan bahwa komunikasi merupakan inti kehidupan keluarga (heart of the family). Artinya tiap anggota berinteraksi secara verbal dan nonverbal menyatakan emosi-emosi mereka. Melalui komunikasilah suami istri dapat menyatakan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan sehingga hubungan itu semakin intim dan dalam.

Tanpa kemampuan berkomunikasi secara efektif, keluarga itu akan cepat menjadi hanya sekumpulan individu yang memiliki perasaan, pikiran dan keinginan masing-masing. Keluarga yang demikian akan mudah menjadi sakit dan tidak berfungsi (disfunction family).

Kebutuhan untuk berkomunikasi sangat besar bagi kaum perempuan. Hasil riset telah membuktikan bahwa ada perbedaan hakiki antara wanita dan pria dalam ke-butuhan komunikasi verbal.

Keluhan istri

Sang istri mengalami depresi berat. Sebab bagi wanita kehadiran suami di rumah merupakan kebutuhan yang sangat penting. Apalagi pada tahun-tahun pertama pernikahan dan sekaligus mempunyai bayi. Namun justru dalam usia pernikahan yang masih sangat muda itu sang suami lebih banyak di luar rumah. Para istri umumnya sangat membutuhkan kehadiran sang suami untuk melindungi, menghibur, membesarkan dan menguatkan hatinya tatkala menghadapi tekanan-tekanan.

Menurut D. Scheunemann para istri sangat butuh pernyataan dan wujud cinta, rangkulan kasih, dan tanda-tanda cinta yang romantis. Istri membutuhkan banyak waktu suaminya agar suaminya dapat mendengarkan keluhan dan pergumulannya.

Dalam ulasan mengenai apa yang dibutuhkan tiap pasangan dalam pernikahan, Gary Smalley menyebutkan ada 4 hal yaitu: Unconditional security, meaningful conversation, emotional or romantic bonding and positive physical touching. Keempat hal itu dapat dikatakan sebagai kebutuhan pokok seorang istri. Namun karena kesibukan suami yang luar biasa di luar kota dengan pekerjaan dan kuliah, maka hal-hal di atas nyaris tidak dirasakan istri.

Karena kebutuhannya tidak dipenuhi maka muncullah perasaan enggan melayani suami. Selanjutnya komunikasi yang miskin ini membuat ia mudah menjadi salah faham dan curiga.

Judson Swihart mengatakan bahwa kebutuhan terdalam dari manusia adalah merasa dihargai, dan ini khususnya ini dibutuhkan dalam kehidupan suami istri. Namun dalam deskripsi masalah kita melihat sama sekali tidak ada lagi penghargaan sang suami pada istrinya. Yang ada hanyalah kecurigaan dan ketidakpuasan. Inilah sebabnya komunikasi mereka miskin.

Para istri yang mempunyai anak secara khusus sangat mendambakan pertolongan suaminya secara fisik. Secara fisik wanita umumnya lebih lemah, apalagi saat-saat ia mengalami mensturasi. Namun istri itu tidak memperolehnya. Justru suaminya lebih banyak menuntut. “Istri itu lebih membutuhkan bahu, bukan mulut suaminya,” demikian ungkapan Gary Smalley tentang kerinduan para istri umumnya. Apalagi saat itu ia juga sedang mengandung. Suami biasanya lebih dituntut untuk perduli dan berkorban demi kepentingan tubuh istrinya.

Tidak heran jika sang istri kehilangan respect pada suaminya Respek adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam rumah nikah. Greg Johnson dan Mike Yorkey menggambarkan respek itu sebagai dasar dan sekaligus tiang penjuru bagi setiap pernikahan.

Akibat tekanan dalam perasaannya tidak heran istrinya secara agresif mulai berani menyerang sang suami dengan perkataan kotor dan ancaman. Ia juga mulai enggan melayani kebutuhan fisik suaminya, baik makan dan mungkin juga kebutuhan seksual. Istrinya sewaktu-waktu tidur di kamar lain membiarkan suaminya sendiri dengan bayinya.

Ketidaksukaan si istri makin bertambah melihat sikap suami yang sangat baik terhadap pembantu mereka. Dengan ringan tangan suaminya menemani pembantu membersihkan kamar mandi dan kompor, sementara itu untuk menolong menggantikan popok anak, suaminya keberatan.

Ia membela kepentingan pembantu dan memberi perhatian khusus. Suami justru tidak menunjukkan perhatiannya atas beratnya beban istrinya. Sebaliknya ia keberatan membantu istri mengurus anak. Tidak heran jika dalam hal ini istrinya menuduh sang suami main serong dengan pembantu.

Semuanya itu akhirnya memuncak tatkala suami hendak ke Jakarta dengan alasan check-up. Wanita itu secara halus mengusir suaminya dengan berkata, “Pergi saja, nggak pulang juga enggak apa-apa…!” Inilah yang akhirnya menambah perasaan depresi dalam diri John.

Tekanan dalam perasaan Mary ini bertambah mungkin disebabkan ia sebelumnya tidak memperhitungkan dan tidak menduga apa yang akan terjadi dalam rumah tangganya sehubungan dengan tempat kerja suami dan kuliahnya. Hal-hal ini sebenarnya sangat penting dibicarakan dan dipertimbangkan secara matang sebelum menikah.

Keluhan suami

Dari keluhan-keluhan yang diutarakan pria ini tampak dia merasa terancam kedudukannya sebagai suami. Ia merasa dilecehkan dan tidak dihargai sebagai kepala keluarga. Banyak saran dan kemauannya ditolak oleh istrinya, misalnya soal metode kontrasepsi. Ia merasa tidak dipercayai istrinya. Ia tidak sadar justru dirinya yang menjadi penyebabnya. Waktu yang ia berikan sangat minim untuk berkomunikasi dengan istri.

Hal lain adalah timbulnya kecurigaan dari pihak istri. Misalnya kehamilan kedua dari istrinya dianggap sebagai pengikat dirinya. Ia merasa istrinya sengaja membiarkan dia mengurus anak sendirian.

Baginya ini menjadi beban, sebab menganggap itu sebagai tugas istrinya. Ia juga kurang menyadari mungkin ini salah satu bentuk kekesalan istrinya karena ditinggal terlalu lama. Sang istri ingin memberitahu suami (dengan caranya sendiri) betapa beratnya menjadi seorang istri tanpa kehadiran suami dalam mengurus rumah tangga.

Dinamika Love

Robert J. Stenberg menyatakan ada tiga komponen yang membentuk cinta yakni: intimacy, passion dan commitment. Intimacy adalah aspek emosi dari cinta. Bila relasi tidak baik maka intimacy dapat melemah bahkan mati. Passion adalah sisi motivasi dari cinta. Sisi ini yang menentukan keinginan yang kuat untuk bersatu secara fisik dengan istrinya. Commitment merupakan tekad untuk memelihara cinta itu. Baik passion maupun komitmen dapat melemah dan akhirnya mati, jika komunikasi gagal.

Dalam kasus ini jelaslah bahwa mereka gagal memelihara cinta yang mungkin pernah mereka nikmati sewaktu pacaran. Ketiga unsur dari cinta ini semakin melemah dan akhirnya ‘mati’. Itu sebabnya keduanya menjadi bosan dan tidak ingin hidup bersama lagi.

Sang suami telah memporakporandakan pernikahannya dengan lebih memilih karirnya daripada rumah tangganya. Mungkin saja ia tidak menyadari hal-hal ini sebelumnya. Ia akhirnya hanya dapat merasakan akibat yang muncul dari sikapnya yang tidak dewasa dalam memasuki rumah nikah. Ia tidak menyadari bahwa penyebabnya adalah dirinya sendiri.

Sangat disayangkan, sang suami tidak menyadari bahwa depresi yang dialaminya saat ini adalah akibat ia tidak konsisten memelihara pernikahan yang telah dibentuknya. Ia terjebak pada ambisi mengejar karir sehingga tidak lagi mampu memelihara keintiman dengan istrinya. Persoalan inti lainnya adalah pria ini punya beberapa fragile dreams dan egos yang mengganggu.

Fragile dreams & fragile egos sang suami

Frank dan Mary Minirth, cs., menyebut usia pernikahan 0-2 tahun ini sebagai masa young love. Tahap ini adalah tahap awal dari lima tahap dalam pernikahan (young love, realistic love, comfortable love, renewing love, trancendent love).

Tahap ini merupakan tahap yang sangat sulit. Ia menggambarkan keluarga pada tahap awal itu bagaikan kursi (tanpa sandaran) dengan hanya memiliki dua kaki saja. Kaki pertama suami dan kaki kedua adalah sang istri.

Karena itu, usia pernikahan sampai dua tahun cenderung tidak stabil. Umumnya pada usia ini pernikahan mudah retak (fragile) dan terluka (hurt). Pada tahap ini ada beberapa hal yang perlu dikerjakan bersama antara lain: membentuk satu kebiasaan baru bersama.

Namun ini sulit, karena biasanya masing-masing membawa imajinasi dan fantasi. Dua individu yang berbeda berusaha menyatukan diri dalam hal keuangan, pengalaman masa kanak-kanak, relasi dengan keluarga asal, teman-teman lama, dan sebagainya. Karena itu tidak heran banyak konflik muncul. Konflik sering tidak terhindarkan sebab masing-masing membawa fragile egos dan fragile dreams.

William Lederer dan Don Jackson mengungkapkan hasil survai dari Mental Research Institute, bahwa umumnya pasangan yang berusia rata-rata setahun sangat menderita karena mereka merasa pernikahan mereka tidak seperti yang mereka pikirkan dan harapkan.

Banyak pasangan masa kini masuk dalam rumah nikah dengan asumsi-asumsi yang keliru. Tragisnya, menurut Gary Collins justru banyak pasangan yang kecewa karena harapan-harapan atau impiannya tidak terlaksana menjadi mundur dan tidak mau berusaha lagi.

Sebaliknya jutsru mereka membuat tingkah laku kekanak-kanakan yang menambah ketegangan pernikahan tersebut. Dalam deskripsi jelas sekali baik suami maupun istri sudah mulai ingin mundur dan mengakhiri pernikahan itu.

Fragile dreams

Pertama, pria ini memiliki obsesi bahwa istrinya harus rajin sembahyang subuh setiap hari. Keinginan dan harapan ini nampaknya memang baik. Namun itu tidak mudah bagi istrinya dengan seorang bayi. Apalagi sang suami jarang di rumah. Kalaupun di rumah suaminya lebih banyak menuntut istri daripada membantu. Si ibu dapat dipastikan setiap malamnya kurang tidur karena mengurus sang bayi. Tuntutan ini tentu sangat menyakitkan hati istrinya. Sebab suaminya seolah-olah tidak memahami keadaannya. Sang suami juga merasa kecewa karena merasa kurang percaya akan pernyataan istrinya bahwa ia berdoa jika suaminya tidak di rumah.

Kedua, ia berharap istrinya pandai dan cakap dalam mengurus anak sehingga sedapat mungkin jangan sampai sakit tanpa bantuannya. Ia merasa tidak perlu ikut mengurus anak, sebab anak adalah urusan istri. Itu sebabnya mungkin ia tidak segan-segan meninggalkan istrinya dalam waktu yang lama. Jelas ini harapan dan pemikiran yang keliru.

Fragile Egos

Pertama, pria ini masih membawa pola hidup dari masa lalunya yang manja. Akibatnya ia merasa membantu istri mengurus anak adalah suatu beban. Ia hanya memikirkan kesenangannya sendiri. Ia kurang perduli akan kelelahan dan beban istrinya berminggu-minggu mengurus rumah tangga tanpa kehadirannya.

Kedua, ia tampaknya pandai bergaul. Ia punya banyak teman di kantor. Dalam deskripsi ia mengundang teman-temannya sampai 100 orang. Dalam pengakuannya ia bahkan pernah pacaran dengan lebih dari selusin wanita. Namun sudah seharusnya ia meninggalkan kebiasaan hura-hura dengan teman, dan sebagainya. Tidak heran istrinya enggan menemani suaminya selama acara berlangsung. Ia tidak menyadari bahwa itu hanya sebagai akibat perlakuannya kepada istrinya. Istrinya kecewa melihat bagaimana suaminya begitu baik terhadap teman-temannya namun ia sendiri kurang merasakannya.

No comments:

Post a Comment