Penulis : Benget Silitonga*http://m.sinarharapan.co.id/index.php?id=227&id=227&tx_ttnews[tt_news]=76784&cHash=fe6b4eefb6f98c988c2794093bec14a9
Sejak awal Oktober, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) menyelenggarakan rangkaian kegiatan perayaan Jubelium 150 tahun di berbagai tempat. Puncak perayaannya direncanakan akan berlangsung awal Desember di Jakarta.
Sejarah mencatat, HKBP lahir dari kolaborasi misi zending Rheinisce Mission Gesellschaft (RMG) Jerman, yang dipelopori misionaris Johann Carl Klammer dan Wilhelm Carl Heine, dan misi zending “Emerlo” Belanda, yang dipelopori misionaris van Asselt dan Betz, yang ketika itu bersepakat melakukan pekabaran Injil di tanah Batak. Persepakatan dan pembagian kerja bersejarah di antara keempat penginjil tersebut dilakukan 7 Oktober 1861 di Parausorat, Sipirok, Tapanuli Selatan, yang kemudian menjadi hari lahir HKBP.
Namun walau usianya lebih “tua” bila dibandingkan dengan lembaga keumatan lainnya, semisal Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, eksistensi HKBP sepertinya belum menjadi sorotan dan referensi dalam isu kebangsaan (publik).
Studi-studi kritis yang dilakukan sejumlah sejarawan Batak dan Kekristenan di Indonesia, antara lain Lance Castel, dan JR Hutauruk, dan bahkan cendekiawan Kristen seperti (alm) TB Simatupang, mendeskripsikan betapa HKBP secara institusional dan personal berperan penting dalam dinamika pra dan pasca-kemerdekaan Indonesia. Bukan hanya berperan “mengusir” penjajah dari tanah Batak, HKBP juga bersikap kritis terhadap pertarungan ideologi (komunis versus nasionalis) pascakemerdekaan. Malah menjelang akhir kekuasaan Orde Baru, HKBP merupakan salah satu kekuatan kritis yang membuat gerah, sehingga penguasa harus mengintervensinya dan kemudian menyebabkan HKBP bergolak sepanjang 1992-1998 (Sitompul dkk, 1997). HKBP Dulu dan Kini HKBP lahir di saat “kegelapan” sedang meliputi tanah Batak. “Kegelapan” tersebut berupa masyarakat Batak yang belum mengenal Injil, kondisi kesehatan yang buruk, dan nyaris tiadanya pendidikan pencerahan. HKBP kemudian merespons “kegelapan” tersebut dengan konsepsi pargodungan. Pargodungan dalam bahasa Batak bermakna sebagai pilar pelayanan (christendom) yang dibangun atau dilaksanakan secara simultan, yaitu membangun gereja, sarana pendidikan (sekolah), dan pusat pelayanan kesehatan, serta sarana pertanian dan peternakan.
DR Ingwer Ludwig Nommensen tercatat sebagai pelopor membuka pargodungan pertama, yang disebut Godung Huta Dame, Saitnihuta, Tapanuli Utara, tahun 1864. Strategi dan konsep pargodungan menjadi model pelayanan holistik yang menjadi keunggulan komparatif dan membuat HKBP dikenal sebagai gereja besar di Indonesia. Hingga Januari 2011, HKBP tercatat memiliki 4,1 juta jemaat yang tersebar di 26 distrik, 614 ressort, dan 3.226 huria atau jemaat. HKBP kini dilayani 2.590 pelayan tahbisan. Mereka terdiri dari 1.470 pendeta, 428 guru huria, 408 bibelvrouw, dan 284 diakones (Ramlan Hutahaean, 2011).
HKBP juga tercatat memiliki ratusan sekolah (SD-SMA), satu universitas (HKBP Nommensen), satu Sekolah Tinggi Teologia di Siantar, dan satu rumah sakit di Balige.
Pencapaian tersebut tentu patut disyukuri, namun di sisi lain juga patut menjadi cermin introspeksi dan mawas diri, karena tiga alasan.
Pertama, bukan rahasia lagi bahwa pencapaian di atas ternyata belum diikuti dengan pertumbuhan kualitatif. Secara jujur, kualitas pelayan (pendeta, bibelvrouw, diakones, dan majelis), lembaga pendidikan, dan lembaga kesehatan HKBP, ternyata justru tertinggal bila dibandingkan dengan kualitas lembaga keumatan lainnya. Kualitas pelayan HKBP yang terlampu konservatif dan monoton sering kali memicu keluhan dan ketidakpuasan jemaat. Kualitas lembaga pendidikannya bahkan lebih memprihatinkan. Sekolah-sekolah tumbuh apa adanya tanpa fokus dan karakter, serta minus pengelolaan yang terorganisasi dengan baik. Kualitas lembaga kesehatannya (rumah sakit) dan lembaga sosial lainnya juga demikian; reaktif dan miskin inovasi.
Kedua, disadari atau tidak, HKBP tengah mengalami krisis kepemimpinan (mulai dari level atas sampai bawah) yang akut. Pola pikir pragmatisme yang menyergap para pelayan tahbisan mengakibatkan suburnya permisivitas nilai dan perilaku, sehingga mereka kehilangan wibawa dan keteladanan di mata warga. Tantangan ke Depan Ketiga, memasuki usia pasca-150 tahun, HKBP akan menghadapi situasi yang lebih sulit dan kompleks. Selain harus menyelesaikan kedua “pekerjaan rumah (PR)” domestik di atas, di ruang publik HKBP juga akan menghadapi “kegelapan” baru yang lebih menyeramkan, yakni fundamentalisme pasar dan agama yang menjalar ke segala penjuru kehidupan, termasuk ke organisasi gereja.Tantangan terakhir ini tentu tak mudah. Apalagi kemudian secara kultural HKBP adalah organisasi berlatar agama dan suku yang rentan terjerembab ke dalam godaan fundamentalisme agama dan atau suku.
Lalu bagaimana HKBP menyelesaikan “PR” domestik dan menghadapi tantangan di ruang publik tersebut?
Bagaimana HKBP menerjemahkan visinya yang dialogis, inklusif, dan terbuka dalam jeratan kedua kutub fundamentalisme ekstrem tersebut? Bagaimana HKBP mempersiapkan teologi, struktur, dan kepemimpinan menyelesaikan “PR” dan menghadapi tantangan baru tersebut? Bagaimana HKBP mentransformasi pargodungan domestik menjadi pargodungan publik?
Bagaimana HKBP mengakumulasi potensi sehingga menjadi kekuatan transformatif yang mampu menyuarakan jeritan warganya sekaligus mengontrol (moralitas) negara yang sedang dilanda permisivitas? Aneka pertanyan tersebut seyogianya dijawab HKBP dalam momentum perayaan jubeliumnya yang ke-150 tahun. Sayangnya, perayaan Jubelium yang berlangsung di berbagai wilayah cenderung menjadi perayaan yang datar dan sekadar perayaan yang sarat mobilisasi dan seremonial, namun miskin substansi. Perayaan Jubelium ke-150 tahun yang seharusnya menjadi deklarasi rancang bangun HKBP sebagai batu penjuru Syalom Allah bagi seluruh mahluk justru menjadi deklarasi rancang bangun menara batu bagi dirinya sendiri. Di saat negara dan masyarakat butuh “pertolongan” spiritual dari HKBP, HKBP justru sibuk menggelar seremonial pesta dan festival, daripada membongkar diri dan mendedah teologi praksis untuk memperkuat warga (jemaat) dan menyelamatkan negara. Quo vadis HKBP?
*Penulis adalah jemaat HKBP, analis politik Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumut (Bakumsu) dan Koordinator Kelompok Kerja Jaringan Demokrasi (KKJD) Sumut.
No comments:
Post a Comment